Thursday, August 22, 2019

Dataisme, Kebebasan Informasi, dan Arsitektur Dunia Masa Depan

Selama abad ke-20, ideologi-ideologi besar seperti liberalisme, komunisme, dan fasisme bersaing untuk membentuk struktur ekonomi dan sosial global. Komunisme Soviet, misalnya, mengklaim bahwa kemajuan manusia berasal dari kendali negara terhadap produksi dan distribusi. Sebaliknya, kapitalisme liberal Amerika Serikat bertumpu pada pasar bebas, individu, dan kompetisi. Ketika akhirnya Uni Soviet runtuh dan Amerika bangkit sebagai kekuatan hegemonik global, banyak pengamat berkesimpulan bahwa kapitalisme lah yang menang. Namun dari sudut pandang dataisme—sebuah ideologi baru yang menjadikan arus informasi sebagai prinsip tertingginya—narasi ini tampak lebih dalam dan kompleks.

Menurut pandangan dataistik, alasan utama mengapa Amerika Serikat melampaui Uni Soviet bukan hanya karena kapitalisme, melainkan karena keunggulan dalam mengelola dan menyebarkan informasi. Di negara-negara otoriter seperti Soviet atau Iran modern, aliran informasi sangat terbatas, disensor, dan dikontrol oleh negara. Sebaliknya, Amerika Serikat membangun infrastruktur terbuka di mana informasi relatif bebas mengalir: melalui media, akademia, internet, dan sektor swasta. Dalam dunia modern, di mana informasi adalah komoditas utama, kebebasan informasi bukan hanya masalah etika—itu adalah prasyarat pertumbuhan ekonomi dan sosial.

Menurut laporan World Bank dan OECD, negara-negara dengan indeks kebebasan informasi dan transparansi pemerintah yang tinggi seperti Swedia, Finlandia, dan Kanada, hampir selalu berada di peringkat atas dalam Indeks Pembangunan Manusia (HDI), indeks kebahagiaan global, serta daya saing ekonomi. Sebaliknya, negara-negara dengan kontrol informasi yang ketat, seperti Iran, Venezuela, atau Nigeria, cenderung menunjukkan angka korupsi yang tinggi, pertumbuhan ekonomi stagnan, dan rendahnya indeks kesejahteraan warga. Dataisme melihat korelasi ini bukan sebagai kebetulan, tetapi sebagai hukum struktural zaman informasi.

Kebebasan Data sebagai Infrastruktur Kesejahteraan

Dalam dunia di mana data adalah darah ekonomi, membatasi alirannya berarti membatasi pertumbuhan dan inovasi. Sebagai contoh, dalam bidang kesehatan masyarakat, Google Flu Trends—meskipun akhirnya ditutup karena akurasi yang fluktuatif—membuktikan bahwa pola pencarian pengguna di internet dapat mendeteksi wabah flu lebih cepat dari badan-badan kesehatan seperti CDC (Centers for Disease Control and Prevention). Sistem algoritmik dapat memproses jutaan entri pencarian per hari, mendeteksi pola geografis, waktu, dan kombinasi kata kunci seperti “flu”, “demam”, atau “lelah ekstrem”, lalu mengekstrapolasi penyebaran penyakit bahkan sebelum pasien mengunjungi dokter. Hal ini memberi waktu tambahan bagi otoritas kesehatan untuk bertindak, menyelamatkan ribuan, bahkan jutaan nyawa dalam skenario pandemi.

Namun, semua ini hanya mungkin terjadi jika data yang dihasilkan masyarakat—pencarian Google, lokasi GPS, rekam medis elektronik—dibagikan dan diproses secara terbuka. Hambatan terhadap arus informasi, seperti undang-undang privasi yang ketat tanpa sistem interoperabilitas data yang baik, bisa memperlambat deteksi dini, merugikan bukan hanya individu, tapi seluruh masyarakat.

Dari Mobil Pribadi ke Mobilitas Cerdas: Ekonomi Data dalam Transportasi

Contoh yang paling konkret dari bagaimana kebebasan informasi menciptakan efisiensi struktural dapat dilihat dari sektor transportasi. Menurut data dari International Energy Agency (IEA), pada tahun 2010 jumlah mobil pribadi di dunia mencapai 1 miliar unit. Per 2023, jumlah ini melonjak menjadi lebih dari 1,4 miliar. Namun, sebagian besar mobil ini tidak digunakan secara optimal: mobil pribadi rata-rata hanya digunakan 4% dari waktu yang tersedia—sekitar 1 sampai 2 jam per hari—sementara selama 96% waktu lainnya, mereka terparkir, memakan ruang dan sumber daya.

Mobil pribadi bukan hanya simbol kenyamanan, tetapi juga bentuk inefisiensi yang luar biasa. Mereka menyebabkan kemacetan, menuntut pembangunan jalan yang luas, memerlukan lahan parkir yang mahal, dan menjadi sumber utama emisi karbon. Data dari UNEP menunjukkan bahwa transportasi darat menyumbang hampir 15% dari total emisi gas rumah kaca global, dan mobil pribadi adalah kontributor utamanya.

Namun, dataisme menawarkan solusi elegan berbasis informasi: jika yang diinginkan manusia adalah mobilitas, bukan mobil pribadi, maka sistem transportasi bisa dirancang ulang untuk memenuhi kebutuhan tersebut secara jauh lebih efisien melalui algoritma cerdas, kendaraan otonom, dan sistem berbagi kendaraan (vehicle sharing economy).

Bayangkan sistem mobil otonom komunal yang terkoneksi dengan perangkat wearable, jadwal kerja, peta real-time, dan data cuaca. Sistem ini bisa mengirim kendaraan yang tersedia paling dekat untuk menjemput seseorang tepat pada waktunya. Setelah menurunkan penumpang, kendaraan itu langsung melanjutkan tugasnya ke pengguna lain, beroperasi hampir tanpa jeda. Dalam model ini, satu mobil dapat menggantikan kebutuhan 10 hingga 20 mobil pribadi.

Sebuah studi oleh MIT Senseable City Lab memperkirakan bahwa kota metropolitan seperti New York dapat mengurangi armada mobil aktif sebesar 70% tanpa mengorbankan tingkat mobilitas, asalkan sistem berbagi kendaraan dikelola secara optimal melalui data real-time. Itu berarti pengurangan signifikan dalam polusi, kebutuhan bahan bakar, infrastruktur jalan, dan emisi karbon.

Namun semua itu memiliki syarat: pengorbanan privasi. Agar algoritma bisa mengatur sistem seperti ini, ia harus tahu di mana Anda berada setiap saat, kapan Anda pergi tidur, kapan Anda bangun, ke mana Anda akan pergi, dan dengan siapa Anda berbicara. Tanpa aliran data yang bebas, efisiensi sistem ini runtuh.

Kebebasan Informasi dan Harga Privasi

Paradoks kebebasan informasi dalam era dataisme adalah bahwa untuk menciptakan masyarakat yang lebih efisien, sehat, dan berkelanjutan, kita harus menyerahkan sebagian kendali atas data personal kita. Data menjadi mata uang baru, dan seperti mata uang lainnya, ia bisa digunakan untuk pembangunan, tetapi juga bisa disalahgunakan.

Di sinilah muncul dilema utama dunia abad ke-21: bagaimana menyeimbangkan kebebasan informasi dengan hak individu atas privasi? Jika kita menutup aliran data, kita membatasi potensi kolektif umat manusia. Namun jika kita membuka semuanya, kita menelanjangi diri kita kepada entitas—baik itu perusahaan atau negara—yang mungkin tidak selalu bertindak demi kepentingan kita.

Maka dari itu, masa depan tidak hanya membutuhkan kebebasan informasi, tetapi juga etika informasi. Dibutuhkan kerangka hukum dan sosial yang bisa mengatur penggunaan data secara adil, transparan, dan terdesentralisasi. Tanpa itu, dataisme bisa berubah dari ideologi emansipatoris menjadi mesin pengawasan total.

AOS

No comments:

Post a Comment