Beberapa menit kemudian, ketika alam semesta mendingin cukup untuk memungkinkan proton dan neutron bersatu, unsur ringan seperti hidrogen dan helium terbentuk. Ratusan juta tahun kemudian, gravitasi menggumpalkan gas-gas ini menjadi bintang pertama, dan generasi berikutnya dari bintang-bintang itulah yang memproduksi unsur-unsur berat seperti karbon, oksigen, dan besi — bahan dasar kehidupan. Semua atom di tubuh kita berasal dari proses nukleosintesis bintang. Seperti kata Carl Sagan, "Kita terbuat dari materi bintang."
Satu Kehidupan dalam Lautan Kosmik
Sampai saat ini, kita hanya mengenal satu jenis kehidupan: kehidupan di Bumi. Dalam cakrawala observasi kita yang membentang lebih dari 90 miliar tahun cahaya melintang, kehidupan biologis yang dapat kita verifikasi secara ilmiah hanya muncul di planet kecil yang mengorbit sebuah bintang biasa di pinggiran galaksi biasa: Bumi. Tidak ada tanda pasti kehidupan cerdas lainnya — belum.
Namun, keterbatasan ini bukan karena kekosongan semesta, melainkan keterbatasan alat dan waktu. Sebab, dari sekitar 200 miliar galaksi yang dapat diamati, dan dengan setiap galaksi menyimpan 100 hingga 400 miliar bintang, ada kemungkinan triliunan planet mengitari bintang-bintang ini — banyak di antaranya berada di zona layak huni, tempat air cair bisa ada.
Sejak peluncuran teleskop seperti Kepler dan TESS, lebih dari 5.000 eksoplanet telah ditemukan. Beberapa di antaranya bahkan merupakan planet berbatu seperti Bumi. Statistik semata membuat kecil kemungkinan bahwa kita sendirian di kosmos.
Melihat yang Tak Terlihat
Dengan mata telanjang, langit malam terlihat sebagai permadani hitam bertabur titik-titik cahaya. Tapi cahaya yang ditangkap oleh mata hanyalah sebagian kecil dari spektrum elektromagnetik. Melalui teleskop radio, inframerah, ultraviolet, dan sinar-X, sains telah membuka mata kita terhadap alam semesta yang tak kasat mata. Misalnya, dalam cahaya inframerah, Bimasakti — galaksi rumah kita — muncul sebagai pusaran raksasa berisi debu dan bintang, tempat kelahiran dan kematian bintang terjadi tanpa henti.
Setiap titik terang yang terlihat oleh teleskop adalah sebuah bintang. Setiap bintang berpotensi memiliki sistem planet sendiri. Jadi, seandainya kita memandang langit dan melihat satu titik cahaya, kita sebenarnya mungkin sedang menatap ribuan dunia yang belum dikenal.
Menemukan Alamat Kosmik Kita
Jika kita menanyakan "di mana kita?", jawabannya menuntun kita ke dalam struktur bersarang yang mencerminkan skala kosmos:
-
Bumi — planet ketiga dari Matahari.
-
Sistem Tata Surya — mengorbit dalam sebuah lengan spiral yang disebut Orion Arm, sekitar 27.000 - 30.000 tahun cahaya dari pusat galaksi.
-
Galaksi Bimasakti — galaksi spiral raksasa berdiameter lebih dari 100.000 tahun cahaya, dengan sekitar 100 - 400 miliar bintang.
-
Grup Lokal — kumpulan sekitar 80 galaksi, termasuk Galaksi Andromeda (M31), Bimasakti, dan sejumlah galaksi kecil satelit seperti Awan Magellan.
-
Gugus Super Virgo — gugus supergalaksi yang meliputi Grup Lokal. Kita adalah bagian kecil dari struktur kosmik ini.
-
Laniakea — nama untuk struktur raksasa yang meliputi Supergugus Virgo dan lainnya. Panjangnya sekitar 500 juta tahun cahaya.
-
Semesta yang Teramati — bola kosmik dengan radius sekitar 46,5 miliar tahun cahaya, terdiri dari ratusan miliar galaksi.
Cakrawala Kosmik dan Batas Pengetahuan
Tapi bahkan semesta yang "teramati" pun bukan seluruhnya. Karena alam semesta terus mengembang, ada wilayah-wilayah yang terlalu jauh untuk cahayanya mencapai kita, bahkan jika cahaya itu telah melakukan perjalanan selama seluruh umur alam semesta. Wilayah itu tersembunyi di luar cakrawala partikel (particle horizon). Apa yang ada di sana? Kita tidak tahu. Tapi model kosmologi terkemuka — seperti inflasi kosmik — menyiratkan bahwa alam semesta kita bisa menjadi bagian dari struktur yang lebih besar: multisemesta.
Dalam skenario multiverse, yang kita anggap sebagai semesta hanyalah satu gelembung dalam buih kosmik raksasa yang berisi semesta-semesta lain, masing-masing dengan hukum fisik yang mungkin berbeda.
Kecil Tapi Tidak Remeh
Dalam perspektif ini, manusia tampak kecil. Kita hidup di sebutir debu, di tepian galaksi yang biasa, di antara milyaran galaksi lain dalam semesta yang luasnya tak terbayangkan. Ukuran kita bahkan lebih kecil dari atom jika dibandingkan dengan skala Laniakea.
Namun, dari titik kecil inilah, manusia mampu memahami hukum-hukum yang mengatur kosmos. Kita menciptakan teleskop untuk melihat bintang yang lahir miliaran tahun lalu. Kita menulis persamaan yang menggambarkan ekspansi ruang-waktu. Kita mengajukan pertanyaan: dari mana kita datang, ke mana kita menuju, dan apakah kita sendirian?
Ini adalah paradoks luar biasa dari kesadaran kosmik: kita kecil secara fisik, tapi tidak remeh secara intelektual. Kita mampu merenungkan asal-mula waktu, membayangkan dunia di luar dunia, dan menulis sejarah tentang bintang-bintang.
Empat abad yang lalu, manusia bahkan belum tahu bahwa Bumi mengorbit Matahari. Kini kita memetakan semesta hingga ke batas cahayanya. Kita tidak hanya bagian dari alam semesta — kita adalah alat bagi semesta untuk memahami dirinya sendiri.
AOS
No comments:
Post a Comment