Monday, August 26, 2019

Fajar dan Cahaya Batin: Sebuah Meditasi atas Transisi Alam dan Kesadaran

Untuk menyaksikan fajar dini hari di Cisarua, Puncak, saya rela menunda tidur. Ada sesuatu yang istimewa di balik cahaya lembut yang perlahan menyibak kegelapan malam. Dalam keheningan itu, saya teringat pada pemahaman Osho tentang fajar bukan sekadar fenomena alam, melainkan sebuah simbol dari pengalaman batin yang mendalam. Ia menyebut fajar sebagai momen paling berharga dalam satu siklus harian manusia—saat di mana malam telah usai, tetapi matahari belum benar-benar terbit. Sebuah jeda yang nyaris tak terdeteksi, namun penuh makna.

Pada saat itu, ufuk timur mulai memerah, menandakan hadirnya matahari, namun cahaya yang muncul bukan berasal dari matahari secara langsung. Sebaliknya, cahaya itu adalah cahaya transisi—tersebar, lembut, dan dingin—yang tidak lagi dikuasai kegelapan malam, tetapi juga belum menjadi milik terang hari. Di dalam jeda inilah, menurut Osho, terdapat cahaya simbolik dari kesadaran batin. Cahaya itu bukan sesuatu yang kasat mata, melainkan pancaran dari dalam, yang muncul dalam keheningan dan keterjagaan jiwa.

Momen fajar adalah peristiwa kosmis sekaligus spiritual. Ia adalah ruang di antara dua keadaan: malam yang telah berlalu dan siang yang akan lahir. Di titik itulah, roda waktu tampak bergeser, seperti roda gigi yang berpindah secara halus namun menentukan. Dalam celah itu, kita diundang untuk merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar transisi waktu; kita dihadapkan pada ruang hening di mana kesadaran murni dapat muncul.

Alam semesta sendiri bergerak dalam tarian yang terus mengalir. Ia adalah simfoni kosmik yang merentang dari partikel-partikel mikroskopik di ranah subatomik hingga sistem galaksi yang tak terjangkau oleh mata manusia. Segalanya berdenyut dalam kesatuan dinamis yang senantiasa terbarui—sebuah regenerasi abadi yang tidak pernah berhenti. Dan dalam aliran itu, kita sebagai manusia bukan hanya penonton, tetapi bagian dari tarian tersebut.

Fajar, dengan segala kesederhanaannya, mengajarkan kita untuk menghargai jeda. Ia mengingatkan bahwa dalam peralihan—baik di langit maupun di dalam diri—terdapat keindahan yang tak bisa dijelaskan hanya dengan nalar. Keheningan di antara dua keadaan bisa menjadi ruang penyadaran paling dalam, tempat di mana kita bisa merayap lebih dekat kepada misteri keberadaan. Di situlah kita bisa menangkap seberkas cahaya batin, yang menuntun kita ke arah pemahaman yang lebih utuh tentang kehidupan dan diri sendiri.

AOS

No comments:

Post a Comment