Thursday, August 22, 2019

Humanisme Liberal: Mitos Individu dan Tantangan Ilmu Pengetahuan

Humanisme liberal adalah gagasan besar yang telah menjadi fondasi utama dari sistem etika, politik, dan budaya dunia modern, terutama di dunia Barat. Ia bukan sekadar aliran pemikiran, melainkan semacam agama sekuler yang menempatkan manusia — khususnya individu manusia — sebagai pusat dari seluruh makna dan nilai di alam semesta. Dalam kerangka ini, manusia dianggap unik dan sakral, berbeda secara fundamental dari hewan atau fenomena alam lainnya. Keunikan inilah yang menjadikan manusia sebagai tolok ukur tertinggi segala kebaikan. Semua sistem nilai, dalam pandangan humanisme, berpuncak pada manusia — dan lebih tepatnya, pada manusia sebagai individu.

Penganut humanisme liberal percaya bahwa sifat kemanusiaan adalah sesuatu yang melekat dalam diri setiap individu. Setiap manusia memiliki kesadaran batin yang otonom dan mampu menentukan makna hidupnya sendiri. Oleh karena itu, kebebasan individu dipandang sebagai nilai paling suci. Ketika seseorang menghadapi dilema moral atau politik, ia dianjurkan untuk menengok ke dalam dirinya, mendengarkan suara hati atau nurani, dan mengambil keputusan berdasarkan kesadaran etis personal. Dalam konteks ini, semua bentuk paksaan terhadap nurani dianggap sebagai kejahatan moral, dan prinsip-prinsip yang melindungi kebebasan tersebut dikenal secara kolektif sebagai hak-hak asasi manusia. Maka tidak heran jika humanisme liberal menentang penyiksaan, hukuman mati, dan bentuk-bentuk kekerasan lain yang mengingkari martabat manusia.

Namun, gagasan bahwa individu adalah unit yang utuh, bebas, dan tetap, mulai mendapat tantangan serius dari temuan-temuan mutakhir dalam ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang neurosains, psikologi evolusioner, dan ilmu kognitif. Konsep tentang "individu" kini dipertanyakan, dan banyak ilmuwan serta filsuf menyarankan bahwa istilah yang lebih akurat untuk menggambarkan manusia adalah "dividual", yakni entitas yang tidak sepenuhnya otonom, melainkan terbentuk secara kompleks melalui interaksi biologis, sosial, dan budaya. Penelitian dalam neurosains menunjukkan bahwa proses pengambilan keputusan sering kali dimulai di dalam otak bahkan sebelum individu secara sadar menyadarinya. Eksperimen terkenal oleh Benjamin Libet menunjukkan bahwa aktivitas saraf yang mendasari keputusan muncul sepersekian detik sebelum seseorang merasa telah "memilih" sesuatu secara sadar. Ini mengindikasikan bahwa kehendak bebas mungkin bukanlah sesuatu yang absolut, melainkan konstruksi yang muncul dari sistem saraf yang sudah lebih dulu bergerak.

Di sisi lain, psikologi evolusioner mengungkap bahwa preferensi moral dan nilai-nilai personal kita pun sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersifat tidak sadar — seperti kebutuhan adaptif, kondisi lingkungan masa kecil, serta tekanan seleksi alam dalam sejarah evolusi manusia. Artinya, suara nurani yang selama ini dipuja-puja oleh humanisme liberal sebagai sumber moral tertinggi mungkin tidak lebih dari produk evolusi dan pembiasaan sosial, bukan suara murni dari “diri” yang otentik.

Meski begitu, bukan berarti nilai-nilai yang dibawa oleh humanisme liberal harus ditinggalkan. Namun, jika kita hendak membangun etika yang tetap menghormati manusia sambil jujur terhadap sains, maka kita perlu membangun kembali dasar-dasarnya — bukan di atas mitos tentang individu yang bebas dan utuh, tetapi berdasarkan pemahaman ilmiah tentang manusia sebagai makhluk yang terbatas, terhubung, dan rentan. Upaya ini sudah mulai dilakukan oleh para ilmuwan dan filsuf melalui pengembangan kerangka etika baru yang berbasis pada empati, data, serta pemahaman neurobiologis tentang penderitaan dan kesejahteraan. Mereka mencoba merumuskan nilai-nilai kemanusiaan tanpa mengandalkan gagasan metafisik tentang jiwa atau kebebasan mutlak.

Humanisme liberal telah berjasa besar dalam membentuk dunia modern — dari demokrasi, kebebasan berpendapat, hingga hak-hak sipil. Tapi dalam era ilmu pengetahuan yang semakin kompleks, kita mungkin harus berani mengakui bahwa sebagian dari dasar-dasarnya adalah mitos. Tantangan kita bukan menolak humanisme, tetapi merevisi dan menyempurnakannya agar tetap relevan di bawah cahaya pengetahuan yang terus berkembang. Mengakui keterbatasan bukan berarti merendahkan manusia, melainkan membuka jalan bagi pemahaman yang lebih jujur dan etis tentang siapa kita sebenarnya.

AOS

No comments:

Post a Comment