Tapi Einstein sadar, untuk memahami “pikiran Tuhan”, kita harus terlebih dahulu memahami pikiran kita sendiri. Pikiran manusia, bagi Einstein, adalah instrumen penangkap realitas. Jika instrumen ini rusak, bias, atau diselimuti dogma, maka realitas tak akan pernah terlihat jernih. Ia sangat dipengaruhi oleh Immanuel Kant, yang menyatakan bahwa manusia tidak mengakses realitas itu sendiri (das Ding an sich), melainkan hanya realitas sebagaimana ia tampak kepada kita, melalui filter ruang, waktu, dan kategori mental bawaan. Maka, memahami pikiran manusia bukan sekadar latihan introspektif, tapi juga kunci epistemologis untuk mendekati struktur kosmos.
Dalam tulisannya yang terkenal tahun 1930 berjudul "What I Believe", Einstein menyatakan:
“The most beautiful and profound emotion we can experience is the sensation of the mysterious. It is the source of all true art and science... To know that what is impenetrable to us really exists, manifesting itself as the highest wisdom and the most radiant beauty… this knowledge, this feeling, is at the center of true religiousness.”
Baginya, rasa takjub terhadap misteri yang tak terjangkau adalah inti dari religiusitas sejati. Ini bukan religiusitas yang berbentuk kepercayaan kepada dogma, kitab, atau ritual, tetapi emosi eksistensial yang muncul ketika seseorang berdiri di hadapan keteraturan alam yang luar biasa kompleks namun tetap bisa dikenali.
Einstein menyebut dirinya bukan ateis, tetapi juga bukan penganut agama tradisional. Ia lebih cocok disebut "panteis Spinozaian", mengacu pada filsuf abad ke-17, Baruch Spinoza, yang memandang Tuhan sebagai identik dengan alam semesta itu sendiri (Deus sive Natura). Dalam pandangan ini, Tuhan tidak memiliki kehendak atau tujuan personal, tetapi adalah hukum-hukum abadi yang menjelaskan keberadaan segalanya. Maka, mencintai Tuhan berarti memahami alam semesta. Einstein sangat kagum pada Spinoza, dan pernah berkata, “Saya percaya pada Tuhan Spinoza yang menyatakan diri dalam harmoni hukum-hukum alam, bukan Tuhan yang peduli pada nasib dan tindakan manusia.”
Spiritualitas Einstein bukanlah bentuk kompromi antara sains dan agama, tetapi jalan ketiga yang melampaui keduanya. Di satu sisi, ia menolak Tuhan personal yang menjadi dasar agama-agama teistik. Ia menulis dalam sebuah surat tahun 1954 bahwa, “konsep Tuhan personal bagi saya adalah naif dan kuno”. Tapi di sisi lain, ia juga mengkritik keras para ilmuwan yang menjadikan sains sebagai pengganti agama tanpa menyadari bahwa sains itu sendiri berakar pada emosi spiritual—rasa ingin tahu, kekaguman, dan pencarian makna.
Dengan demikian, Einstein mengisi kekosongan yang sering muncul dalam spiritualitas modern. Banyak ateis dan sekularis yang membuang agama karena tidak rasional, namun mereka sering kali menggantikannya dengan sterilitas intelektual yang miskin emosi. Einstein menunjukkan bahwa rasionalitas dan keajaiban tidak perlu bertentangan. Justru, menurutnya, semakin dalam kita memahami hukum alam, semakin besar rasa takjub yang muncul.
Dalam konteks ini, spiritualitas Einstein bisa dianggap sebagai model dari apa yang oleh filsuf kontemporer seperti Sam Harris atau Carl Sagan sebut sebagai spiritualitas tanpa agama. Sagan, dalam Cosmos, menulis bahwa “Ilmu pengetahuan bukan hanya kompatibel dengan spiritualitas; ia adalah sumber spiritualitas terdalam.” Sagan, seperti Einstein, percaya bahwa menyelidiki bintang-bintang, memahami sejarah evolusi, atau mengungkap hukum termodinamika, semua dapat menimbulkan rasa keagungan yang sama dalam-dalamnya dengan doa.
Einstein berdiri di antara dua kutub ekstrem yang terus bertarung dalam dunia modern: fundamentalisme agama di satu sisi dan nihilisme ilmiah di sisi lain. Ia menolak keduanya. Dalam spiritualitasnya, ada tempat bagi misteri, ketidaktahuan, dan keindahan yang melampaui kalkulasi logis. Namun semua itu tidak menjurus pada dogma, melainkan pada kebebasan berpikir dan kedalaman pengalaman manusia.
Kita mungkin hidup di era pasca-agama, namun sebagaimana ditunjukkan Einstein, kita tidak harus hidup di era pasca-makna. Sains, dalam bentuknya yang paling murni, bukanlah penjelasan mekanis tentang dunia semata. Ia adalah bahasa yang kita gunakan untuk berkomunikasi dengan struktur terdalam realitas. Dan jika ada sesuatu yang bisa disebut kerohanian ilmiah, maka itulah yang dipraktikkan oleh Einstein—sebuah spiritualitas yang lahir dari nalar, tetapi juga terbuka pada keajaiban yang tak terjangkau nalar itu sendiri.
AOS
No comments:
Post a Comment