Wednesday, August 21, 2019

KEMATIAN DAN HAK-HAK ASASI MANUSIA: Antara Sakralitas Tradisi dan Tantangan Sains Modern (1)

Pada tahun 1948, hanya tiga tahun setelah kekejaman Holocaust dan kehancuran global akibat Perang Dunia II, dunia internasional mengambil langkah monumental dengan mengadopsi Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. Dokumen ini bukan hanya respons terhadap penderitaan kolektif umat manusia, tetapi juga upaya untuk membangun tatanan etis global yang menempatkan kehidupan manusia sebagai nilai tertinggi. Pasal 3 dari deklarasi tersebut menyatakan dengan tegas: “Everyone has the right to life, liberty and security of person.” Di tengah reruntuhan moral akibat perang, lahirlah pandangan bahwa hak untuk hidup bukan sekadar nilai budaya atau norma lokal, tetapi hak asasi universal yang tidak dapat diganggu gugat oleh negara, agama, maupun sistem ideologi apa pun.

Dalam kerangka ini, kematian yang disengaja—entah melalui perang, genosida, eksekusi, atau kelalaian struktural—tidak lagi dipandang sebagai bagian dari realitas tak terhindarkan, melainkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Menurut interpretasi modern atas hak asasi manusia, kematian bukan hanya tragedi individual, tetapi juga pelanggaran terhadap struktur moral global. Hak untuk hidup menjadi nilai tertinggi dari tatanan dunia pasca-perang, dan secara implisit menantang pandangan-pandangan lama yang sebelumnya justru menempatkan kematian sebagai bagian integral dari makna kehidupan itu sendiri.

Namun, dalam buku Homo Deus, Yuval Noah Harari menunjukkan bahwa sudut pandang ini tergolong baru dalam sejarah panjang umat manusia. Dalam kebudayaan-kebudayaan besar dunia, baik agama maupun ideologi klasik, kehidupan manusia individual jarang dipandang sebagai sesuatu yang harus dipertahankan dengan segala cara. Sebaliknya, yang dianggap suci justru adalah entitas yang berada di atas manusia: Tuhan, Negara, Masyarakat, atau Alam Semesta. Kehidupan dianggap fana, sedangkan yang kekal adalah nilai-nilai transendental yang menjadi dasar kepercayaan kolektif.

Dalam agama-agama besar seperti Kristen, Islam, dan Hindu, kematian sering kali dipandang sebagai gerbang menuju kehidupan yang lebih sejati. Dalam Kekristenan, kematian merupakan pintu menuju keselamatan kekal atau kebinasaan abadi, tergantung pada iman dan moralitas manusia semasa hidup. Dalam Islam, kematian adalah ajal yang telah ditentukan oleh Allah dan menjadi awal dari kehidupan akhirat yang kekal. Dalam tradisi Hindu, kematian bukanlah akhir, melainkan siklus reinkarnasi yang terus berulang hingga mencapai moksha—pembebasan dari kelahiran kembali. Dengan kata lain, dalam sistem kepercayaan ini, kematian bukan musuh, melainkan mekanisme kosmis yang menghubungkan manusia dengan yang ilahi.

Dari perspektif ini, tidak heran jika selama ribuan tahun, peradaban manusia cenderung pasif terhadap kematian. Ia diterima sebagai bagian dari tatanan alam dan spiritual. Bahkan, kematian yang disengaja, seperti perang suci atau pengorbanan diri, kerap dianggap mulia atau sakral. Seorang martir tidak mati sia-sia, melainkan menyatu dengan prinsip tertinggi yang diyakininya. Dalam banyak budaya, bahkan masih hingga abad ke-20, meninggal untuk agama, bangsa, atau raja dianggap sebagai bentuk pengabdian tertinggi.

Sains modern, terutama sejak abad ke-19, secara bertahap membongkar paradigma ini. Ia tidak melihat kematian sebagai bagian dari rencana ilahi atau hukum karma, tetapi sebagai peristiwa biologis yang dapat dikaji, dijelaskan, dan—pada batas tertentu—diintervensi. Seperti ditulis Harari, dalam pandangan sains, “manusia mati bukan karena Tuhan menghendaki, tetapi karena ada kegagalan teknis.” Jantung berhenti berdetak karena suplai oksigen terganggu. Otak rusak karena akumulasi protein abnormal. Tubuh gagal melawan infeksi karena sistem imun melemah. Tidak ada yang sakral dari proses ini. Dengan logika teknologis, maka segala sesuatu yang bersifat teknis bisa dipecahkan secara teknis pula.

Pandangan ini menciptakan revolusi diam-diam dalam konsepsi hak untuk hidup. Jika kita menerima bahwa kematian adalah masalah teknis, maka hak untuk hidup bukanlah sekadar perlindungan dari pembunuhan atau perang, melainkan hak untuk terus hidup selama mungkin, selama teknologi memungkinkan. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tidak pernah menyatakan bahwa hak hidup berlaku sampai usia 80 atau 90 tahun. Tidak ada “masa kedaluwarsa” untuk kehidupan dalam dokumen itu. Oleh karena itu, semakin banyak ilmuwan dan aktivis transhumanis yang mengusulkan bahwa memperpanjang hidup manusia—bahkan tanpa batas—bukanlah kemewahan, tetapi perpanjangan logis dari prinsip dasar hak asasi manusia.

Pertanyaan besar pun muncul: apakah negara dan komunitas internasional berkewajiban untuk mendanai riset perpanjangan usia? Apakah pengobatan untuk memperlambat penuaan merupakan bentuk dari pelayanan kesehatan dasar? Apakah kematian yang diakibatkan oleh kegagalan medis yang dapat dicegah—misalnya tidak mendapat akses terapi anti-penuaan—merupakan bentuk diskriminasi struktural? Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan betapa radikalnya implikasi pemikiran sains modern terhadap hak-hak dasar manusia.

Namun tentu saja, tidak semua pihak sepakat. Sebagian besar sistem etika tradisional masih melihat keabadian biologis dengan skeptis, bahkan sebagai bentuk hybris—kesombongan manusia yang melampaui batas kodratnya. Dalam banyak mitos kuno, upaya untuk hidup abadi justru berujung tragis, karena melanggar batas antara manusia dan dewa. Akan tetapi, dalam era pasca-agama, ketika sains menggantikan mitos sebagai penyedia makna, pertanyaan tentang batasan itu sendiri menjadi kabur.

Hari ini, ketika teknologi genomik, terapi regeneratif, dan kecerdasan buatan mulai menantang batas usia biologis, kita dihadapkan pada tantangan filosofis yang sama sekali baru: Apakah hak untuk hidup berarti hak untuk tidak mati? Jika iya, maka perjuangan melawan kematian bukan lagi urusan sains belaka, melainkan perjuangan hak asasi manusia yang paling fundamental di abad ke-21.

AOS


No comments:

Post a Comment