Wednesday, August 21, 2019

THE END OF ADVOCATE: Masa Depan Profesi Hukum di Era AI

Kita tengah berdiri di ambang sebuah revolusi peradaban yang sangat besar. Manusia berada dalam risiko kehilangan nilai ekonomi tradisionalnya karena kecerdasan (intelligence) kini mulai bisa dipisahkan dari kesadaran (consciousness).

Saat ini, kita sedang mengembangkan bentuk-bentuk baru kecerdasan non-sadar—yakni algoritma dan sistem pembelajaran mesin—yang mampu melakukan tugas-tugas berbasis pengenalan pola secara jauh lebih efektif dan efisien dibanding manusia. Ini termasuk membaca teks hukum, menilai kredibilitas saksi, hingga menyusun kontrak yang kompleks. Evolusi organik selama jutaan tahun telah menciptakan otak manusia yang sadar, namun evolusi teknologi—terutama AI inorganik—tengah mengarah ke bentuk super-inteligensia yang bisa melampaui keterbatasan kesadaran biologis.

 Peristiwa Flash Crash 2010 di bursa saham New York—ketika indeks Dow Jones jatuh 1.000 poin dalam waktu lima menit dan kemudian pulih dalam tiga menit—menjadi bukti nyata dari kekuatan dan risiko algoritma super cepat. Para ahli sepakat bahwa AI adalah penyebabnya, namun hingga kini belum ada kepastian utuh mengenai kesalahan spesifik yang terjadi. Fenomena ini menjadi representasi dari masa depan: sebuah dunia yang diatur oleh sistem yang kita ciptakan, tetapi tidak sepenuhnya kita pahami.

Dalam dunia hukum, konsekuensinya jauh lebih nyata dari sekadar angka. Saat ini, platform berbasis AI seperti Harvey AI, Casetext, dan DoNotPay mulai menggantikan banyak fungsi dasar pengacara: dari menyusun argumen hukum, menganalisis dokumen ribuan halaman dalam hitungan detik, hingga memberi nasihat hukum berbasis hukum yang berlaku. Bahkan beberapa firma hukum internasional besar—seperti Allen & Overy, PwC Legal, dan Dentons—sudah mengadopsi sistem AI untuk mendampingi pengacara manusia dalam menangani perkara.

Pengacara, yang selama ini kita bayangkan sebagai sosok yang berdiri di pengadilan, berseru "keberatan", dan menyampaikan pleidoi penuh semangat, kini menghadapi tantangan eksistensial. Sebagian besar dari mereka justru menghabiskan waktu untuk memeriksa file tanpa ujung, menyusun kontrak, mencari preseden, dan mengevaluasi bukti—semua tugas yang saat ini dapat dilakukan dengan presisi dan kecepatan tinggi oleh algoritma hukum berbasis NLP (natural language processing).

Dalam waktu dekat, pemindai fMRI dan teknologi pengenal kebohongan berbasis neuroimaging dapat mendeteksi penipuan dengan akurasi lebih dari 90%. Bahkan sistem seperti EyeDetect dan Silent Talker sudah digunakan di beberapa lembaga untuk mendeteksi kebohongan dari mikro-ekspresi wajah dan pola bicara, yang sering kali luput dari pengamatan hakim atau pengacara.

Maka yang menjadi pertanyaan besar: apa yang tersisa bagi jutaan pengacara, hakim, jaksa, polisi, dan detektif manusia? Profesi hukum tidak sepenuhnya hilang, tetapi perannya akan bergeser. Para profesional hukum akan lebih berperan sebagai kurator etika, pengawas keadilan algoritmik, atau spesialis dalam menangani kasus-kasus yang justru muncul akibat kesalahan AI.

World Economic Forum dalam laporan Future of Jobs 2023 memperkirakan bahwa dalam 5 tahun ke depan, lebih dari 44% dari tugas-tugas hukum dapat diotomatisasi, dan sebagian besar profesi hukum akan membutuhkan keterampilan baru, seperti literasi digital, pemahaman AI, serta etika teknologi.

Tidak heran jika banyak pengacara kini mulai belajar pemrograman, hukum siber, atau bahkan kecerdasan buatan. Karena jika tidak, mereka mungkin harus kembali ke sekolah, bukan untuk belajar lebih dalam tentang hukum, tetapi untuk mempelajari bagaimana bertahan di dunia yang dikuasai oleh logika algoritma dan bukan lagi oleh retorika ruang sidang.

AOS

No comments:

Post a Comment