Wednesday, August 21, 2019

FENOMENA BENCANA ALAM: Penjelasan Sains

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Willem Rampangilei, seperti yang dikutip oleh CNN Indonesia, mengatakan hingga 14 Desember 2018, telah terjadi 2.426 kejadian bencana.

Data BNPB menunjukkan bencana paling banyak terjadi di Indonesia selama 2018 adalah puting beliung yang mencapai 750. Disusul Banjir 627 kejadian, tanah longsor 440 kejadian, gempa bumi 20 kejadian, tsunami satu kejadian. Ini belum termasuk bencana tsunami yang melanda Banten dan Lampung, Sabtu (22/12) lalu.

Selain itu kebakaran hutan dan lahan 370 kejadian, kekeringan 129 kejadian, letusan gunung api 55 kejadian, dan gelombang pasang 34 kejadian.

Dampak yang ditimbulkan bencana sangat besar. Bencana alam hingga 14 Desember 2018 telah menyebabkan 4.231 orang meninggal dunia dan hilang; 6.948 orang terluka; 9,9 juta jiwa mengungsi dan terdampak bencana. Bencana alam juga mengakibatkan 374.023 rumah rusak. Sementara untuk tsunami di Selat Sunda lebih dari 200 orang meninggal.

Terakhir, tsunami yang disebabkan longsoran tanah akibat erupsi Gunung Anak Krakatau terjadi pada Sabtu (22/12) lalu di Selat Sunda. Peristiwa itu mengakibatkan ratusan jiwa tewas dan ribuan luka-luka, baik di Banten hingga Lampung Selatan. Kini, ribuan orang mengungsi dan tinggal di pengungsian sementara.

Peristiwa bencana ini mendorong beragam pendapat dan penjelasan kenapa bencana alam ini terjadi. Seperti dikutip oleh detiknews (25/12), Cawapres nomor urut 01, Ma'ruf Amin, ketika mengunjungi korban tsunami Banten mengatakan, "Sabar ya. Ini bukan buatan manusia, ini buatan Allah. Jadi jangan ngeluh dan jangan marah sama Allah".

Pandangan Amin ini dalam mashab pemikiran islam disebut Jabariahisme-Asy'ariah - lawan dari Qadariahisme-Mu'tazillah (saya tidak akan bahas dua mashab pemikiran ini).

Bahkan ada Ustad yang mengatakan bahwa bencana alam ini gak mungkin bisa diatasi, karena bencana alam ini datang dari Tuhan sebagai peringatan kepada umat manusia.

Tapi bagaimana sains menjelaskan fenomena bencana alam ini? Dan mungkinkah bisa diatasi?

Gerakan bumi melalui daerah padat dari Sabuk Foton menuju kesejajaran dengan Pusat Galaksi dimulai sekitar waktu yang disebut Harmonic Convergence pada tahun 1987, dan akan masuk ke dalam kesejajaran sekitar tahun 2012, dan akan lengkap (dari perspektif linear kita sekarang) sekitar tahun 2016.

Selama dua dekade terakhir, menurut Wilcock dan Weinhold, sebagian besar Bumi, planet dan matahari mengalami perubahan - suatu perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya di atmosfer planet berupa lonjakan drastis dalam aktivitas gunung berapi dan gempa bumi – yang telah diamati. Hal yang paling penting dari sudut pandang kita adalah bahwa matahari kini bergerak menuju sejajar dengan Pusat Galaksi.

Selama transit matahari tersebut medan magnetnya telah meningkat lebih dari 230% dan ada peningkatan kadar aktivitas sunspot liar (seperti yang dilaporkan oleh NASA dan badan-badan ruang angkasa lain) yang telah memecahkan rekor ditransmisikannya gelombang elektromagnetik (untuk tidak mengatakan torsi) energi ke bumi dan, dengan demikian, kepada kita (Sumber: blogAOS)

Mengutip Times (5/12/2017), www.liputan6.com memberitakan studi mengenai lindu menunjukkan pada tahun depan (2018) akan lebih banyak ketimbang priode sebelumnya.

Dalam forum tahunan komunitas akademis bidang kepakaran geologi di AS, Geological Society of America, ilmuwan meyakini, melambatnya rotasi Bumi pada 2018 akan memicu aktivitas seismik yang intens dan menyebabkan melonjaknya kuantitas gempa tahun depan.

Meskipun melambatnya rotasi itu cukup kecil -- sekitar 1 milidetik, dampak yang dihasilkan dapat memicu peristiwa alam 5 cukup signifikan, yakni pelepasan sejumlah besar energi bawah tanah yang memicu aktivitas seismik.

"Korelasi antara rotasi dan gempa menunjukkan hubungan yang sangat kuat. Korelasi itu menunjukkan bahwa akan terjadi peningkatan jumlah gempa bumi yang hebat pada tahun depan," kata Roger Bilham dari University of Colorado in Boulder.

Bilham dan rekan, Rebecca Bendick, dari University of Montana in Missoula, mencapai kesimpulan itu dengan menilik lindu berkekuatan 7 SR dan yang lebih besar yang terjadi sejak 1900.

Dari data itu, Bilham dan Bendick menemukan beberapa periode tahun ketika gempa berskala besar terjadi secara signifikan dan lebih banyak dibandingkan dengan periode tahun lain.

"Pada lima periode itu, ada 25 sampai 30 gempa dalam setahun. Sementara pada periode lain, hanya ada rata-rata 15 gempa per tahunnya," papar Bilham.

Kedua ilmuwan itu pun lantas melakukan pemeriksaan dan menemukan korelasi antara aktivitas seismik intens dengan variasi dan fluktuasi rotasi Bumi.

"Perputaran Bumi sedikit berubah sekitar 1 milidetik per hari. Kami mengukurnya secara akurat menggunakan jam bertenaga atom."

Ketika perlambatan terjadi, inti Bumi memicu justru ketegangan pada lapisan di luarnya. Maka pada saat itu, prinsip fisika dasar Isaac Newton berlaku, yakni benda bergerak akan berusaha sekuat tenaga agar tetap bergerak.

Daya yang dihasilkan pergerakan yang terus-menerus tersebut akan menyebar melalui bebatuan, lempeng, dan patahan yang dekat dengan permukaan Bumi, menyebabkan lindu.

Bilham dan Bendick menemukan bahwa telah terjadi periode sekitar lima tahun ketika rotasi Bumi melambat. Periode itu kemudian disusul oleh lonjakan kuantitas gempa Bumi untuk beberapa waktu ke depan.

"Dari pengukuran itu, Bumi seakan menawarkan kita suatu prediksi mengenai potensi gempa di masa yang akan datang, setidaknya per lima tahun ke depan," papar Bilham.

Berdasarkan perhitungan tersebut, Bilham dan Bendick mencapai suatu prediksi bahwa pada 2018 nanti akan terjadi lonjakan lindu.

"Rotasi Bumi sudah melambat sejak empat tahun lalu. Maka, kesimpulannya jelas. Tahun depan kita harus mempersiapkan atas terjadinya peningkatan yang signifikan dalam jumlah gempa Bumi yang terjadi," papar Bilham.

"Tahun ini sudah ada enam lindu. Tahun 2018 nanti, bisa sekitar 20 gempa," tambahnya.

Meski begitu, makalah yang ditulis oleh Bilham dan Bendick tidak menjelaskan secara detail mengapa pelambatan rotasi mampu berkorelasi dengan peningkatan aktivitas seismik. Selain itu, meski Bilham dan Bendick memprediksi bahwa gempa "ekstra" pada 2018 nanti akan terjadi di wilayah Bumi tropis, keduanya tak mampu untuk menentukan titik persisnya.

Apakah bencana alam bisa diatasi?

Raksasa fisika, Michio Kaku, mengatakan, sepanjang pengetahuan sains, tidak ada yang dapat menghancurkan tipe II (maksudnya peradaban tipe II). Gunung berapi, gempa bumi, zaman es…..Tubrukan komet bisa dibelokkan, supernova – Anda cukup memindahkan planet atau meredam proses fusi sehingga Anda tidak terkena ledakan neutrino dari supernova tersebut.

Jadi jika Anda tipe II, Anda abadi terhadap bencana alam, kecuali bunuh diri - ini tidak alami.
Di tipe I yang sudah cukup punya energi, kita baru bisa memodifikasi cuaca. Mereka juga punya cukup energi untuk mengubah aliran gempa, gunung berapi.

Dalam estimasi Freeman Dyson dari Institute for advanced studies bahwa dalam 200 tahun lagi atau lebih lagi, kita semestinya sudah mencapai status tipe I. Dengan tingkat pertumbuhan sedang 1% pertahun, Kardasev mengestimasikan bahwa hanya perlu 3.200 tahun untuk mencapai status tipe II, dan 5.800 tahun untuk mencapai status tipe III.

Dalam skala Nicolai Kardashev (astrofisika Uni Sovyet, 1964), maka perkembangan sains dan teknologi yang ada sekarang masih sangat primitif. Kita masih berada di peradaban tipe nol koma 7 (transisi menuju peradaban tipe satu).

@AOS

No comments:

Post a Comment