Apa sumber dari kebahagian? Materil, seperti kesehatan, makanan, dan kekayaan? Atau faktor-faktor sosial, etis, dan spiritual?
Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, ahli-ahli psikologi dan biologi telah menjawab tantangan untuk mempelajari secara saintifik apa yang menjadikan orang benar-benar bahagia. Apakah uang, keluarga, genetika, atau barangkali kebajikan?
Definisi kebahagian yang umum diterima adalah "kesejahteraan subyektif", yaitu sesuatu yang saya rasakan di dalam diri, perasaan kenikmatan langsung atau pun kepuasaan jangka panjang tentang bagaimana hidup saya berlangsung.
Angket kesejahteraan subyektif biasanya meminta orang memberi nilai nol sampai sepuluh untuk persetujuan mereka terhadap pernyataan-pernyataan "Saya merasa puas dengan keadaan saya", "Saya merasa bahwa kehidupan saya sangat memuaskan", "Saya sangat optimis mengenai masa depan", dan "Hidup menyenangkan". Para peneliti kemudian menjumlahkan semua jawaban dan menghitung tingkat kesejahteraan subyektif umum orang yang ditanya. Angket semacam ini digunakan guna membuat korelasi kebahagian dengan berbagai faktor obyektif.
Satu kesimpulan menarik adalah uang memang membawa kebahagian. Namun hanya sampai titik tertentu, dan selepas titik itu uang tidak punya banyak makna. Satu lagi temuan menarik adalah bahwa penyakit menurunkan kebahagiaan dalam jangka pendek, namun merupakan sumber stres jangka panjang hanya bila kondisi si orang sakit terus memburuk atau bila penyakit itu melibatkan nyeri yang terus menerus dan melumpuhkan. Orang-orang yang terdiagnosis menderita penyakit kronis seperti diabetes biasanya merasa depresi beberapa saat, namun bila penyakit itu tidak bertambah buruk mereka bisa menyesuaikan dengan kondisi baru dan menilai kebahagian mereka setinggi orang-orang sehat.
Keluarga dan masyarakat tampaknya memiliki dampak lebih besar terhadap kebahagian kita daripada uang dan kesehatan. Orang-orang dengan keluarga kuat yang hidup dalam masyarakat yang erat dan mendukung secara signifikan lebih bahagia daripada orang-orang dengan keluarga yang disfunsional dan tidak pernah menemukan masyarakat yang menerima mereka. Pernikahan terutama penting.
Penelitian berulang-ulang telah menemukan bahwa ada korelasi dekat antara pernikahan yang baik dan kesejahteraan subyektif yang tinggi, dan antara pernikahan yang buruk dan kesengsaraan. Ini berlaku, terlepas dari kondisi-kondisi ekonomi atau bahkan fisik. Seorang difabel yang miskin namun dikelilingi oleh pasangan yang penyayang, keluarga yang erat, dan masyarakat yang hangat mungkin merasa lebih baik daripada seorang miliuner yang terasing, asalkan kemiskinan sang penyandang difabilitas tidak terlalu parah dan penyakitnya tidak terlalu degeneratif atau membuat nyeri.
Namun temuan yang paling penting dari semuanya adalah kebahagiaan tidak benar-benar bergantung kepada kondisi-kondisi obyektif berupa kekayaan, kesehatan, atau bahkan masyarakat. Kebahagiaan justru bergantung pada korelasi antara kondisi-kondisi obyektif dan harapan-harapan subyektif. Ketika kondisi membaik, harapan menggelembung, sehingga perbaikan dramatis sekalipun dalam kondisi obyektif bisa menyebabkan kita tidak puas. Ketika kondisi memburuk, harapan menyusut, sehingga penyakit yang parah sekalipun mungkin tidak mengganggu kebahagiaan kita.
@AOS
Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, ahli-ahli psikologi dan biologi telah menjawab tantangan untuk mempelajari secara saintifik apa yang menjadikan orang benar-benar bahagia. Apakah uang, keluarga, genetika, atau barangkali kebajikan?
Definisi kebahagian yang umum diterima adalah "kesejahteraan subyektif", yaitu sesuatu yang saya rasakan di dalam diri, perasaan kenikmatan langsung atau pun kepuasaan jangka panjang tentang bagaimana hidup saya berlangsung.
Angket kesejahteraan subyektif biasanya meminta orang memberi nilai nol sampai sepuluh untuk persetujuan mereka terhadap pernyataan-pernyataan "Saya merasa puas dengan keadaan saya", "Saya merasa bahwa kehidupan saya sangat memuaskan", "Saya sangat optimis mengenai masa depan", dan "Hidup menyenangkan". Para peneliti kemudian menjumlahkan semua jawaban dan menghitung tingkat kesejahteraan subyektif umum orang yang ditanya. Angket semacam ini digunakan guna membuat korelasi kebahagian dengan berbagai faktor obyektif.
Satu kesimpulan menarik adalah uang memang membawa kebahagian. Namun hanya sampai titik tertentu, dan selepas titik itu uang tidak punya banyak makna. Satu lagi temuan menarik adalah bahwa penyakit menurunkan kebahagiaan dalam jangka pendek, namun merupakan sumber stres jangka panjang hanya bila kondisi si orang sakit terus memburuk atau bila penyakit itu melibatkan nyeri yang terus menerus dan melumpuhkan. Orang-orang yang terdiagnosis menderita penyakit kronis seperti diabetes biasanya merasa depresi beberapa saat, namun bila penyakit itu tidak bertambah buruk mereka bisa menyesuaikan dengan kondisi baru dan menilai kebahagian mereka setinggi orang-orang sehat.
Keluarga dan masyarakat tampaknya memiliki dampak lebih besar terhadap kebahagian kita daripada uang dan kesehatan. Orang-orang dengan keluarga kuat yang hidup dalam masyarakat yang erat dan mendukung secara signifikan lebih bahagia daripada orang-orang dengan keluarga yang disfunsional dan tidak pernah menemukan masyarakat yang menerima mereka. Pernikahan terutama penting.
Penelitian berulang-ulang telah menemukan bahwa ada korelasi dekat antara pernikahan yang baik dan kesejahteraan subyektif yang tinggi, dan antara pernikahan yang buruk dan kesengsaraan. Ini berlaku, terlepas dari kondisi-kondisi ekonomi atau bahkan fisik. Seorang difabel yang miskin namun dikelilingi oleh pasangan yang penyayang, keluarga yang erat, dan masyarakat yang hangat mungkin merasa lebih baik daripada seorang miliuner yang terasing, asalkan kemiskinan sang penyandang difabilitas tidak terlalu parah dan penyakitnya tidak terlalu degeneratif atau membuat nyeri.
Namun temuan yang paling penting dari semuanya adalah kebahagiaan tidak benar-benar bergantung kepada kondisi-kondisi obyektif berupa kekayaan, kesehatan, atau bahkan masyarakat. Kebahagiaan justru bergantung pada korelasi antara kondisi-kondisi obyektif dan harapan-harapan subyektif. Ketika kondisi membaik, harapan menggelembung, sehingga perbaikan dramatis sekalipun dalam kondisi obyektif bisa menyebabkan kita tidak puas. Ketika kondisi memburuk, harapan menyusut, sehingga penyakit yang parah sekalipun mungkin tidak mengganggu kebahagiaan kita.
@AOS
No comments:
Post a Comment