Wednesday, August 21, 2019

Spiritualitas Einstein

Spiritualitas sekuler memandang keutuhan eksistensi tanpa prasangka. Tuhan dan nalar boleh berdampingan tanpa bertikai. Bagaimana bisa? Hubungan berlangsung di tataran pikiran. Tujuan utama Einstein, menurut penuturannya, adalah memahami pikiran Tuhan. Namun untuk bisa melakukan hal itu, pikiran manusia harus terlebih dahulu diuraikan. Lagipula, pikiran kita merupakan penyaring yang dilewati saat kita menangkap realitas, dan jika penyaring ini mengalami distorsi dan disalahpahami, maka kita tidak punya kemungkinan untuk bisa memahami pikiran Tuhan. Entah kita berpikir seperti dia ataukah dia berpikir seperti kita. Bila keduanya tidak benar, maka tak akam ada hubungan.

Tanpa ada nada kesombongan, Einstein menulis, "Yang membedakan saya dari mereka yang paling sering disebut ateis adalah perasaan rendah hati terhadap rahasia-rahasia yang tak terjangkau tentang harmoni kosmos". Hal yang paling inspiratif adalah ketakjuban Einstein terhadap tingkat penciptaan yang tidak terjangkau. Inilah tempat kasatmata di mana keajaiban dimulai. Dalam kredonya tahun 1930 yang berjudul "What I Believe - Apa yang Kuyakini," ada kalimat yang berbunyi: "Untuk merasa bahwa di balik segala sesuatu yang bisa dialami terdapat sesuatu yang tidak bisa dipahami oleh pikiran kita, yang keindahan dan sublimitasnya mencapai kita hanya secara tak langsung, itulah yang disebut kereligiusan". Pernyataan-pernyataan seperti ini membuka jalan untuk pandangan yang luas dan toleran dalam pencarian spiritual. Dalam hal itu, Einstein mengungguli kekakuan para skeptis yang berpikiran ilmiah sekarang, yang membuang Tuhan personal tetapi meninggalkan sterilitas hampa di tempatnya.

@AOS

No comments:

Post a Comment