Spiritualitas sekuler memandang keutuhan
eksistensi tanpa prasangka. Tuhan dan nalar boleh berdampingan tanpa
bertikai. Bagaimana bisa? Hubungan berlangsung di tataran pikiran.
Tujuan utama Einstein, menurut penuturannya, adalah memahami pikiran
Tuhan. Namun untuk bisa melakukan hal itu, pikiran manusia harus
terlebih dahulu diuraikan. Lagipula, pikiran kita merupakan penyaring
yang dilewati saat kita menangkap realitas, dan jika penyaring ini
mengalami distorsi dan disalahpahami,
maka kita tidak punya kemungkinan untuk bisa memahami pikiran Tuhan.
Entah kita berpikir seperti dia ataukah dia berpikir seperti kita. Bila
keduanya tidak benar, maka tak akam ada hubungan.
Tanpa ada nada kesombongan, Einstein menulis, "Yang membedakan saya
dari mereka yang paling sering disebut ateis adalah perasaan rendah hati
terhadap rahasia-rahasia yang tak terjangkau tentang harmoni kosmos". Hal yang
paling inspiratif adalah ketakjuban Einstein terhadap tingkat
penciptaan yang tidak terjangkau. Inilah tempat kasatmata di mana
keajaiban dimulai. Dalam kredonya tahun 1930 yang berjudul "What I
Believe - Apa yang Kuyakini," ada kalimat yang berbunyi: "Untuk merasa
bahwa di balik segala sesuatu yang bisa dialami terdapat sesuatu yang
tidak bisa dipahami oleh pikiran kita, yang keindahan dan sublimitasnya
mencapai kita hanya secara tak langsung, itulah yang disebut
kereligiusan". Pernyataan-pernyataan seperti ini membuka jalan untuk pandangan
yang luas dan toleran dalam pencarian spiritual. Dalam hal itu, Einstein
mengungguli kekakuan para skeptis yang berpikiran ilmiah sekarang, yang
membuang Tuhan personal tetapi meninggalkan sterilitas hampa di
tempatnya.
@AOS
@AOS
No comments:
Post a Comment