
Yang mengejutkan, faktor-faktor eksternal yang sering diasosiasikan dengan kebahagiaan seperti kekayaan, status sosial, atau hubungan romantis ternyata hanya memiliki pengaruh kecil terhadap kondisi kebahagiaan jangka panjang seseorang. Data dari studi psikologi positif menunjukkan bahwa sekitar 50% variasi kebahagiaan individu ditentukan oleh faktor genetik dan biokimia, sementara hanya sekitar 10% berasal dari kondisi eksternal. Sisanya dipengaruhi oleh pola pikir dan aktivitas mental yang dapat diubah secara sadar. Dengan kata lain, seseorang merasa bahagia bukan karena menang lotre atau mendapat promosi, tetapi karena peristiwa tersebut memicu lonjakan dopamin dan serotonin dalam otaknya. Efek ini pun bersifat sementara, karena otak manusia memiliki mekanisme adaptasi yang menyebabkan tingkat kebahagiaan kembali ke titik setimbang setelah beberapa waktu—sebuah proses yang dikenal sebagai adaptasi hedonik.
Lebih jauh lagi, para peneliti telah menemukan bahwa setiap orang memiliki titik setimbang kebahagiaan masing-masing, yang bersifat cukup stabil dari waktu ke waktu. Ada individu yang secara genetik cenderung merasa optimistis dan ceria, bahkan di tengah krisis, sementara yang lain tetap merasa tertekan meskipun dikelilingi oleh kemewahan dan cinta. Perbedaan ini berkaitan erat dengan struktur dan fungsi otak mereka, termasuk cara sistem dopaminergik dan serotoninergik mereka bekerja. Dari sudut pandang evolusi, kondisi ini masuk akal: kebahagiaan yang terlalu tinggi atau penderitaan yang berlebihan sama-sama tidak adaptif. Rasa tidak puas, misalnya, mendorong manusia untuk terus berinovasi, mencari makanan, atau mencari pasangan, yang semuanya penting untuk kelangsungan hidup dan reproduksi.
Karena kebahagiaan ditentukan secara internal oleh proses biokimia, sejarah dan peristiwa sosial besar pun sering kali tidak banyak berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan subjektif individu. Revolusi, perang, atau pertumbuhan ekonomi hanya dapat mengubah rangsangan eksternal, tetapi tidak serta-merta meningkatkan jumlah serotonin yang dihasilkan oleh otak manusia. Akibatnya, meskipun terjadi perubahan dramatis dalam masyarakat, rata-rata tingkat kebahagiaan penduduk tidak selalu meningkat secara signifikan. Hal ini menjelaskan mengapa dalam banyak kasus, orang yang hidup di negara maju dengan kemudahan material tetap mengalami krisis eksistensial dan gangguan mental.
Kesadaran akan dasar biologis kebahagiaan telah mendorong munculnya pendekatan baru untuk meningkatkan kualitas hidup, yaitu dengan intervensi langsung terhadap sistem kimia otak. Penggunaan obat-obatan seperti antidepresan, khususnya inhibitor reuptake serotonin, telah terbukti secara klinis membantu jutaan orang keluar dari depresi. Selain itu, terapi baru menggunakan zat psikedelik seperti psilocybin dan MDMA mulai menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam menangani trauma dan kecemasan berat. Jika sistem biokimia dapat dimodulasi dengan aman dan efektif, maka manusia mungkin suatu hari bisa merancang kondisi emosional mereka sendiri dengan presisi tinggi.
Namun, ini juga menimbulkan pertanyaan mendalam: jika kebahagiaan dapat diproduksi secara kimiawi, apakah itu berarti semua pencapaian eksternal kehilangan maknanya? Apakah kehidupan yang direkayasa agar selalu bahagia lebih bernilai daripada kehidupan yang penuh tantangan emosional alami? Di sinilah letak dilema modern: antara mengejar kebahagiaan melalui kendali teknologi atas otak dan menerima keterbatasan emosi manusia sebagai bagian dari keutuhan pengalaman hidup.
Dalam terang semua ini, slogan New Age yang selama ini terdengar klise—“Kebahagiaan dimulai dari dalam”—ternyata memiliki dasar ilmiah yang kuat. Bukan rumah megah, pengakuan sosial, atau tubuh sempurna yang membuat manusia bahagia, melainkan reaksi kimia dalam otak yang mengatur persepsi dan emosi mereka. Maka di dunia yang penuh ilusi pencapaian eksternal, mungkin jalan menuju kebahagiaan yang sejati justru terletak dalam memahami dan merawat realitas dalam: sistem saraf dan biokimia kita sendiri.
No comments:
Post a Comment