Thursday, August 22, 2019

REVOLUSI TEKNOLOGI: Miliaran Manusia Mubazir Secara Ekonomis

Revolusi teknologi kemungkinan segera mendorong miliaran manusia ke luar dari pasar kerja, dan menciptakan klas baru yang sangat tidak berguna, yang mengarah ke pergolakan sosial politik yang tidak bisa ditangani oleh idiologi yang pernah ada. Semua pembicaraan tentang teknologi dan idiologi mungkin terdengar abstrak dan mengawang-awang, tetapi prospek pengangguran massal - atau pengangguran personal - yang sangat nyata membuat tidak ada satu pun orang akan bersikap masa bodoh.

Apa yang terjadi atas pasar kerja di tahun 2050? Secara umum disepakati bahwa pembelajaran mesin dan robotika akan mengubah hampir setiap lini pekerjaan - dari memproduksi yoghurt hingga mengajar yoga.

Sebagian orang percaya bahwa dalam satu atau dua dekade saja, miliaran orang akan menjadi mubazir secara ekonomis. Sebagiannya lagi berpendapat, dalam otomatisasi jangka panjang, manusia akan terus menghasilkan pekerjaan baru dan kemakmuran yang lebih besar untuk semua. Tapi kali ini tampaknya berbeda dengan revolusi industri yang pernah terjadi, dan pembelajaran mesin akan menjadi pengubah permainan yang nyata.

 Manusia memiliki dua jenis kemampuan - fisik dan kognitif. Di masa lalu, mesin bersaing dengan manusia terutama dalam kemampuan fisik kasar, sementara manusia mempertahankan keunggulan besar atas mesin dalam hal kognisi. Oleh karena itu, ketika pekerjaan manual di bidang pertanian dan industri dilakukan secara otomatis, pekerjaan baru muncul di bidang jasa yang membutuhkan jenis keterampilan kognitif yang hanya dimiliki manusia: belajar, menganalisis, berkomunikasi, dan terutama memahami emosi manusia. Namun, AI sekarang mulai mengungguli dalam lebih banyak keterampilan ini, termasuk dalam pemahaman manusia. Dan kita tidak mengetahui adanya sesuatu semacam bidang aktivitas ketiga - diluar fisik dan kognitif - dimana manusia akan selalu mempertahankan tepian yang aman.

Sangat penting untuk menyadari bahwa revolusi AI bukan hanya tentang komputer yang semakin cepat dan pintar. Itu juga dipicu oleh terobosan dalam sains hayati dan sains sosial. Semakin baik kita memahami mekanisme biokimia yang mendukung emosi, hasrat dan pilihan manusia, semakin komputer dapat menjadi lebih baik dalam menganalisis perilaku manusia, memperediksi keputusan manusia, dan mengganti pengemudi manusia, bankir manusia dan pengacara manusia.

Dalam beberapa dekade terakhir, penelitian di berbagai bidang seperti neurosains dan ekonomi prilaku memungkinkan para ilmuwan untuk meretas manusia, dan khususnya untuk mendapatkan pemahaman yang jauh lebih baik tentang bagaimana manusia membuat keputusan. Ternyata pilihan kita terkait segala sesuatu mulai dari makanan hingga pasangan bukanlah hasil dari kehendak bebas yang misterius, melainkan dari aktivitas miliaran neuron yang menghitung probabilitas dalam waktu sepersekian detik. 'Intuisi manusiawi' yang kita bangga-banggakan, dalam kenyataannya adalah proses pengenalan pola. Pengemudi, bankir, dan pengacara yang baik tidak memiliki intuisi magis tentang lalu lintas, investasi atau negoisasi - sebaliknya, dengan mengenali pola yang berulang, mereka melihat dan mencoba menghindari pejalan kaki yang ceroboh, peminjam yang tidak kompoten dan penjahat yang tidak jujur. Itu juga menunjukkan bahwa algoritma biokimia otak manusia jauh dari sempurna. Mereka mengandalkan heuristik, jalan pintas dan sirkuit usang yang disesuaikan dengan padang rumput Afrika, dan bukan rimba perkotaan. Tidak mengherankan bahwa bahkan pengemudi, bankir dan pengacara yang baik terkadang membuat kesalahan yang bodoh.

Ini berarti bahwa AI dapat mengungguli manusia bahkan dalam tugas yang seharusnya menuntut 'intuisi'. Jika anda berpikir bahwa AI perlu bersaing dengan jiwa manusia dalam hal firasat mistis - itu kedengarannya mustahil. Tapi jika AI benar-benar perlu bersaing dengan jaringan saraf dalam menghitung probabilitas dan mengenali pola - itu kedengarannya jauh lebih menakutkan.

Secara khusus, AI bisa lebih baik dalam pekerjaan yang menuntut intuisi tentang orang lain. Banyak jalur kerja - seperti mengendarai kendaraan di jalan yang penuh pejalan kaki, meminjamkan uang kepada orang asing, dan bernegoisasi mengenai kesepakatan bisnis - membutuhkan kemampuan untuk menilai emosi dan keinginan orang lain dengan benar. Apakah anak itu akan melompat ke jalan? Apakah pria dalam gugatan itu berniat mengambil uang saya dan menghilang? Akankah pengacara itu bertindak atas ancamannya, atau dia hanya menggertak? Selama dianggap bahwa emosi dan hasrat seperti itu dihasilkan oleh roh immaterial, tampak jelas bahwa komputer tidak akan pernah dapat menggantikan pengemudi, bankir dan pengacara manusia. Sebab, bagaimana bisa komputer memahami roh manusia yang diciptakan secara ilahi? Namun, jika emosi dan keinginan ini pada kenyataannya tidak lebih dari algoritma biokimia, tidak ada alasan mengapa komputer tidak dapat menguraikan algoritma ini - dan melakukannya dengan jauh lebih baik daripada homo sapiens mana pun.

Seorang pengemudi yang memprediksi niat seorang pejalan kaki, seorang bankir yang meneliti kredibilitas seorang peminjam potensial, dan seorang pengacara yang mengukur suasana di meja perundingan tidak bergantung pada ilmu gaib. Sebaliknya, tanpa sepengetauan mereka, otak mereka mengenali pola biokimia tertentu dengan menganalisis ekspresi wajah, nada suara, gerakan tangan, dan bahkan bau badan. AI yang dilengkapi dengan sensor yang tepat dapat melakukan semua itu jauh lebih akurat dan andal dari manusia.

Oleh karena itu, ancaman kehilangan pekerjaan tidak hanya sebagai akibat dari munculnya infotek. Ini merupakan hasil dari pertemuan infotek dengan biotek. Perjalanan dari pemindai fMRI menuju pasar tenaga kerja adalah panjang dan berliku-liku, tetapi masih bisa dicakup dalam beberapa dekade.

Apa yang dipelajari oleh para ilmuwan otak hari ini tentang amygdala dan carebellum bisa memungkinkan komputer untuk mengalahkan psikiater dan pengawal manusia pada tahun 2050.

AI tidak hanya berdiri siap untuk meretas manusia dan mengungguli mereka dalam apa yang hingga kini merupakan keterampilan manusia yang unik. Ia juga menikmati kemampuan unik non-manusia, yang membuat AI dan pekerja manusia tidak hanya berbeda dalam hal derajat, tetapi juga berbeda dalam hal jenis. Dua kemampuan non- manusia yang sangat penting yang dimilki AI adalah konektivitas dan pembaruan (updateability).
#21LessonsForThe21Century

@AOS

No comments:

Post a Comment